Senin, 05 Mei 2008

KOMUNITAS BASIS GEREJANI

SEJARAH KOMUNITAS UMAT BASIS (KUB) DI FLORES

oleh: Hendrik P. Bhezo, SVD

Gerakan pengembangan KUB di Flores memang sudah dimulai sejak awal 1970-an. Di daratan ini, label Komunitas Umat Basis (KUB) masih relatif baru. Nama yang lazim sebelumnya adalah “Gabungan”, “Umat Basis” atau “Gereja Basis”. Secara umum sejarah Komunitas Umat Basis di Flores dibagi dalam dua tahap yaitu tahap “Gabungan” dan tahap “Komunitas Umat Basis atau KUB”.

Gabungan

Perkumpulan resmi orang-orang Katolik untuk berdoa baru dimulai sekitar periode 1950-an yang ditandai dengan hadirnya Kongregasi Santa Maria. Kongregasi ini lahir sebagai wadah pembentukan kader awam. Dalam wadah ini kaum muda katolik berkumpul untuk berdoa rosario bersama umat lainnya. Dari sini terbentuklah di berbagai tempat kelompok-kelompok doa yaitu kesatuan keluarga-keluarga yang bertetangga dan disebut Kontas Gabungan atau Kontas Keluarga. Biasanya kelompok-kelompok ini menghimpun anggotanya pada bulan rosario (Mei dan Oktober). Sebagai kelompok doa rosario kelompok ini memiliki struktur tertentu dengan guru-guru agama sebagai pemimpinnya. Kelompok ini juga menjadi sarana untuk membina kecintaan umat pada doa-doa Gereja.
Terdorong oleh wawasan Gereja sebagai umat Allah, maka sekitar tahun 1970-an Kelompok Kontas Gabungan dikembangkan menjadi Gabungan. Kelompok doa ini disebut Gabungan karena merupakan penggabungan beberapa keluarga yang bertetangga yang mempunyai peluang lebih banyak untuk berkumpul bersama. Kelompok doa atau gabungan ini kemudian menjadi strategi baru dalam berpastoral di wilayah Keuskupan Agung Ende.

Komunitas Umat Basis

Pada tahun 1980-an, istilah Gabungan berubah menjadi Kelompok Umat Basis, dan menjadi suatu wadah resmi Gereja. Kelompok Basis bertumbuh merata di semua paroki di wilayah Keuskupan Agung Ende. Sebagai wadah paroki paling bawah, kelompok basis menjalankan pelbagai kegiatan, baik untuk tingkat paroki maupun untuk tingkat keuskupan. Di samping itu dikembangkan juga kegiatan-kegiatan yang diperkarsai oleh kelompok-kelompok minat seperti arisan, sumbangan duka dan acara-acara tertentu untuk pelbagai kepentingan kelompok. Sejak tahun 1987 menjelang diselenggarakannya MUSPAS KAE yang pertama kelompok umat basis menjadi tempat diskusi untuk menemukan pelbagai persoalan yang muncul dalam umat.
Musyawarah Pastoral (MUSPAS) lahir sebagai bentuk kesadaran akan pentingnya sebuah strategi dalam berpastoral. Gereja Keuskupan Agung Ende memandang perlu diadakannya sebuah musyawarah yang melibatkan semua agen pastoral (imam dan awam) dalam merumuskan strategi pastoral yang lebih baik dan tepat sasar. Keuskupan Agung Ende sadar akan “sesuatu yang tidak beres yang perlu dibenahi”.
Dalam tiga MUSPAS terdahulu ditemukan tiga akar masalah dalam kehidupan umat yaitu dualisme dalam perkawinan dan hidup keluarga, keterpisahan karya sosial ekonomi dari karya pastoral Gereja dan kepemimpinan yang ketinggalan zaman.Tiga akar masalah ini mendorong ditetapkannya tiga prioritas utama yaitu perkawinan kristiani yang selaras zaman, pengembangan sosial ekonomi yang terintegrasi dalam karya pastoral gereja dan kepemimpinan suportif. Selama lebih dari satu dekade, gereja Keuskupan Agung Ende berupaya menggumuli tiga program ini. Namun dalam kenyataannya banyak program yang telah dirancang terkesan pelaksanaannya belum dapat membawa perubahan sampai ke tingkat akar rumput.
Berhadapan dengan situasi masyarakat yang dililiti oleh pelbagai masalah yang kompleks seperti kemiskinan, keadilan sosial, pelanggaran HAM, konflik SARA dan krisis nilai yang dampaknya secara tidak langsung menimpa kaum muda, perempuan, para perantau, pasutri dan anak-anak serta perusakan lingkungan maka, Gereja keuskupan Agung Ende lewat MUSPAS IV mencita-citakan Gereja sebagai communio dengan gaya hidup alternatif dan gereja pembebasan dan pemberdayaan. Gereja seperti ini dilihat sanggup untuk membebaskan dirinya sendiri dari pelbagai situasi yang membuat orang kehilangan orientasi dan harapan karena dililiti oleh kompleksitas persoalan hidup. Arah dasar pastoral pasca MUSPAS IV yang ditetapkan adalah praktik pembebasan dan pemberdayaan dengan dua strategi utamanya yaitu pemberdayaan Komunitas Umat Basis dan fungsionaris pastoral.



Mengenal Paroki St. Yosef Maumere

 Sejarah Pengembangan Paroki St. Yosef Maumere
oleh: Br. Hendrik P. Bhezo, SVD
Paroki Santo Yosef Maumere berdiri berdasarkan pengakuan pemerintah Hindia Belanda atas pengangkatan Pater Cornelis Omtzigt sebagai pastor paroki pertama Maumere pada tanggal 18 Desember 1873. Setelah itu pada tahun 1874 Pater Ten Brink diangkat menjadi pastor paroki ke-2, yang berkarya di Maumere antara tahun 1874-1880. Sebagai sebuah stasi pengembangan dari stasi Larantuka, Maumere sering dikenang sebagai tempat yang tidak sehat, akibat wabah malaria yang merajalela. Namun Maumere terkenal karena pelabuhannya yang dapat disinggahi kapal-kapal besar. Atas kerjasama dengan para penguasa lokal, pada tahun 1880 dimulai pembangunan gereja besar pertama, sebagai gereja yang berbentuk salib dengan panjang 30 meter, lebar 21 meter dan tinggi 7 meter.
Perluasan misi ke Maumere terjadi hampir bersamaan waktu dengan perluasan administrasi pemerintahan kolonial ke wilayah ini. Awalnya, wilayah Maumere sangat kuat dipengaruhi oleh budaya kekatolikan Portugal. Hal ini nampak dalam budaya dan praktek keagamaan yang dianut oleh sebagian masyarakat Maumere pada era 1880-an sebelum kedatangan para misionaris Jesuit Belanda. Kedatangan para misionaris Jesuit Belanda menggantikan budaya Katolik Portugis dengan kekatolikan gaya Belanda. Hal ini nampak dalam ulasan Steenbrink berikut ini:
“Tidak ada confreria yang resmi di Maumere, namun banyak bekas peninggalan dari kurun Protugis masih mendominasi kehidupan religius. Le Cocq untuk beberapa saat lamanya merupakan satu-satunya imam di Maumere (antara keberangkatan Ten Brink dan kedatangan Metz). Dalam kurun ini ia memutuskan untuk melenyapkan secara drastis semua kebiasaan kuno ini....”
Tentunya yang dimaksudkan dengan kebiasaan kuno di sini adalah budaya Katolik Protugis seperti prosesi Jumad Agung, dll.
Misi Flores yang ditangani para misionaris Jesuit Belanda kemudian diserahkan ke tangan para misionaris SVD. Masalah pokok yang dihadapi dalam situasi pastoral pada periode ini adalah munculnya keluhan bahwa prakarsa misioner dijalankan dari atas ke bawah: gereja, sekolah dan pastoran yang dibangun dengan uang yang berasal dari luar, dengan sedikit kerjasama dengan penduduk setempat. Persoalan lain yang muncul adalah persoalan praktek perkawinan poligami. Poligami tidak pernah berkembang subur di Flores, namun menjadi tanda kemakmuran di antara kaum kaya dan berpengaruh, dan karena itu sulit diakhiri. Tahun 1904 Pater Korndörffer di Maumere mengeluhkan bahwa semua orang kaya di parokinya memiliki seorang istri kedua.
Generasi baru para misionaris SVD pada abad ke-20 menaruh perhatian lebih banyak dengan penekanan pada iman Katolik sebagai sebuah organisasi yang beralih pada keselamatan jiwa-jiwa individual. Konsentrasi pertama adalah anak-anak kecil serta generasi muda. Generasi tua bukan sasaran utama, sejauh mereka tidak menganut agama Islam atau menghalangi karya misi.
Pada abad ke-20 pembahasan tentang syarat-syarat perkawinan Katolik di Flores diperdebatkan. Ada empat kendala utama untuk mematuhi peraturan Katolik itu. Pertama, ada kecendrungan kuat dalam banyak masyarakat di Flores untuk menikahi sepupu (perkawinan tungku) hal ini hanya dapat diperbolehkan oleh Gereja sejauh ada dispensasi dari uskup. Yang kedua, adalah praktek belis atau mahar, yang seringkali harus diselesaikan dalam beberapa tahap. Ketiga, keterlibatan orang tua dalam pemilihan jodoh dan keempat ada ritus-ritus tradisional yang harus dijalankan dalam proses perundingan nikah, persiapan dan upacara.
Masa pengembangan Gereja di Paroki St Yoseph Maumere ditandai dengan adanya gerakan menuju Gereja umat. Pelopor gerakan Gereja umat adalah Pater Hendrik Djawa, SVD yang menjadi pastor paroki Maumere menggantikan P. Yosef da Silva. Pater Hendrik menjadi pastor paroki Maumere antara tahun 1956 sampai tahun 1963 dan pada tahun 1966 sampai tahun 1969. Pada masa-masa awal ia menjabat sebagai pastor paroki situasi Sikka dan Maumere diliputi keadaan yang tidak menentu.
Mengatasi persoalan yang ada dalam Gereja dan masyarakat, strategi yang diambil oleh Pater Hendrik cukup mempan di mana ia menggunakan pola proses: menyadarkan, membina dan memberdayakan. Pola penyadaran yang dibuat bermaksud untuk memperkuat diri dari dalam agar umat sanggup menghadapi perubahan zaman. Pada tahap ini yang mau ditonjolkan adalah partisipasi umat dalam kehidupan menggereja.
Pada tahun 1966 Pater Hendrik menjadi pastor paroki Maumere dan sekaligus sebagai deken Maumere dengan tugas khusus yang harus dijalani yaitu: mengembalikan suasana tenang, mengadakan reorganisasi di bidang pendidikan dan persekolahan serta pendewasaan kaum awam. Tugas khusus ini dijalankan mengingat pada tahun 1965 terjadi pemberontakan G 30 S/PKI dan setelah itu ada pembantaian secara masal masyarakat yang dicurigai anggota PKI sebagai organisasi terlarang. Komando Operasi Pemulihan Keamanan (KOMOP) yang terdiri dari orang-orang militer pada masa ini membantai cukup banyak umat yang dicurigai sebagai anggota PKI tanpa melalui sebuah proses pengadilan.
Di satu sisi pada masa ini dibentuk organisasi-organisasi Katolik sebagai wadah pembinaan iman umat. Pemberdayaan kaum awam dibuat dengan terbentuknya komisi-komisi dalam dewan pastoral paroki seperti komisi liturgi, komisi pendidikan, komisi organisasi, komisi keuangan dan komisi aksi Katolik. Komisi ini mulai terbentuk dan bekerja pada tahun 1967.
Dalam periode tahun 1970-an Gereja lokal di Nusa Tenggara memasuki tahap pembentukan Gereja berdikari, dalam arti bahwa periode misi di sini dapat dianggap sudah berlalu. Agama Katolik di Flores dan Timor semakin lama semakin menjadi agama rakyat. Sudah tiba saatnya untuk memperdalam iman agar Gereja lokal mulai bergeser dari Gereja yang menjadi sasaran misi menjadi Gereja yang melaksanakan misi.
Berkat terobosan pastoral di akhir tahun enam puluhan itu, cita-cita membangun Gereja lokal sebagai Gereja umat dengan ciri khas sendiri kini mulai bergerak ke arah perwujudannya. Awam menjadi bagian integral dalam Gereja umat Allah yang hidup. Pada tanggal 31 Desember 1969 Pater Hendrik digantikan oleh Rm. Yan Benu, Pr.
Seiring dengan perkembangan zaman, Gereja di Keuskupan Agung Ende menggagaskan suatu model pastoral yang lebih kontekstual dan sesuai dengan kebutuhan zaman. Melalui MUSPAS IV tahun 2000 di Maumere Gereja lokal di Keuskupan Agung Ende menggagaskan model pastoral pembebasan dan pemberdayaan dengan menjadikan Komunitas Umat Basis sebagai fokus dan lokus dalam berpastoral. Gereja di paroki St. Yosef Maumere menanggapi ajakan MUSPAS ini dengan mengsosialisasikan gerakan KUB di tengah umatnya.
Pada tanggal 1 Mei 2001 seluruh KUB di wilayah Paroki merayakan ekaristi bersama di halaman gereja. Sejak saat itu dimulai pencanangan gerakan KUB yang ditandai dengan peralihan nama untuk lambang-lambang gabungan menjadi lambang-lambang KUB. Lonceng gereja dibunyikan dan sejak saat itu dengan resmi istilah yang digunakan untuk kelompok basis bukan gabungan tetapi Komunitas Umat Basis (KUB).
Sejak bulan Mei 2001 dimulai dengan program pembenahan seluruh kepengurusan. Kepengurusan yang terbentuk dalam KUB-KUB terdiri ketua, wakil, sekretaris, bendahara dan tiga seksi utama yaitu seksi pewartaan, seksi pembinaan dan seksi kemasyarakatan. Setelah melalui proses pembenahan dan pembekalan maka pada hari raya Pentekosta dilantik secara bersama-sama semua pengurus KUB di Gereja St. Yosef dengan masa jabatan selama 3 tahun.